Banner_Header

Pancasila, Pengorbanan dan Hadiah Terbesar Umat Islam untuk Persatuan dan Kemerdekaan Indonesia


KabarDuniaIslam - Menjelang peringatan Hari Pahlawan 10 November 2015, pemerintah menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional untuk almarhum Ki Bagus Hadikusumo dan empat tokoh lainnya. Sebelumnya, di era Orde Baru pemerintah telah menganugerahkan penghargaan atas perjuangan dan jasa-jasa Ki Bagus Hadikusumo dalam mencapai kemerdekaan dengan menetapkannya sebagai Perintis Kemerdekaan.

Pahlawan Nasional untuk Ki Bagus Hadikusumo diusulkan tiga tahun lalu oleh Panitia Pengajuan Gelar Pahlawan Nasional PP Muhammadiyah yang diketuai anggota Parlemen RI, A.M. Fatwa. Selain Ki Bagus, juga diusulkan almarhum Prof. Mr. Kasman Singodimedjo dan Prof. K.H. Abdul Kahar Mudzakkir. Semoga tahun depan dapat terealisasi. Penganugerahan gelar Pahlawan Nasional adalah sebuah keputusan politik dan ditentukan oleh jiwa kenegarawanan pemimpin bangsa.

Pancasila, Hadiah Terbesar Umat Islam untuk Persatuan dan Kemerdekaan Indonesia
Lambang Pancasila dan Lambang Kerajaan Samudera Pasai

Perjuangan dan pengorbanan para pahlawan dari kalangan umat Islam dalam merintis, merebut dan mempertahankan kemerdekaan tercatat yang paling banyak dalam sejarah Indonesia. Oleh karena itu pemerintah tidak perlu ragu mengukuhkan Pahlawan Nasional paling banyak dari kalangan tokoh pejuang Islam.

Dalam Derita Seorang Pemimpin: Riwayat Hidup, Perjuangan dan Buah Pikiran Ki Bagus Hadikusumo, yang disusun oleh putra beliau almarhum H. Djarnawi Hadikusuma, tertulis Ki Bagus Hadikusumo lahir di Yogyakarta pada hari Senin tanggal 11 Rabi’ul-akhir 1308 H bertepatan dengan 24 November 1890, dan wafat di Yogyakarta Jumat 5 Muharam 1374 H atau 3 September 1954 dalam usia 64 tahun.

Ki Bagus Hadikusumo seorang ulama pejuang, mubaligh, penulis buku dan pemimpin umat yang disegani. Ia diangkat sebagai Ketua Majelis Tabligh lalu Ketua Majelis Tarjih Muhammadiyah, Wakil Ketua dan kemudian Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah periode tahun 1942 – 1953. Ki Bagus Hadikusumo aktif dalam usaha pembentukan partai Masyumi tahun 1945 yang didirikan sebagai satu-satunya partai bagi seluruh umat Islam Indonesia. Majelis Syura Masyumi periode pertama diketuai oleh K.H. Hasyim Asy’ari dan Wakil Ketua Ki Bagus Hadikusumo sampai tahun 1950.

Pada 1922 Ki Bagus diangkat oleh Gubernur Belanda menjadi anggota Komisi Perbaikan Pengadilan Agama seluruh Jawa dan Madura, serta bersama Prof. Dr. Husein Djajadiningrat ditugaskan menyusun Mahkamah Islam Tinggi. Pengurus Yayasan Badan Wakaf Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta mencatat nama Ki Bagus Hadikusumo salah satu tokoh pendiri UII.

Pada zaman Jepang, beliau diangkat menjadi anggota Tyuo Sangi In mewakili golongan Islam bersama K.H.A. Wahid Hasjim, K.H.A. Kahar Mudzakkir, dan Abikusno Tjokrosujoso. Ki Bagus Hadikusumo satu di antara sedikit ulama yang berani menentang perintah Pemerintah Dai Nippon agar melakukan Saikirei, yaitu membungkukkan badan ke arah Istana Diraja Tenno Heika di Timur Laut sebagai simbol penghormatan kepada Tenno Heika (Kaisar Jepang) yang dianggap keturunan dewa matahari. Selain Ki Bagus, tokoh Muhammadiyah Dr. Abdul Karim Amrullah (ayah Buya Hamka) juga menolak Saikirei karena berlawanan dengan akidah Islam.

Peran Ki Bagus Hadikusumo dalam masa persiapan kemerdekaan Indonesia adalah sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Sejak terbentuknya Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) Ki Bagus Hadikusumo menjadi anggota KNIP mewakili Masyumi. Ki Bagus pernah menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Sewaktu Agresi Militer Belanda I tahun 1947, Muhammadiyah membentuk Kesatuan Laskar Angkatan Perang Sabil dengan Penasihat Ki Bagus Hadikusumo.

Sejarah mencatat sebelum Ir Soekarno menyampakan pidato tentang dasar negara tanggal 1 Juni 1945, sidang BPUPKI telah mendengarkan pidato anggota BPUPKI lainnya, salah satunya Ki Bagus Hadikusumo. Ki Bagus mengemukakan agar negara Indonesia berdasarkan agama Islam, di atas petunjuk-petunjuk Al Quran dan Hadits, agar menjadi negara yang tegak dan teguh serta kuat dan kokoh. Ia mengingatkan sudah enam abad Islam menjadi agama kebangsaan Indonesia dan tiga abad sebelum Belanda menjajah disini, hukum Islam sudah berlaku di Indonesia. Bung Karno dalam pidato 1 Juni 1945, sepuluh kali menyebut nama Ki Bagus Hadikusumo. Soekarno sangat segan kepada Ki Bagus walau dalam banyak hal prinsipil keduanya berlainan pendapat dan pandangan.

Menyangkut rumusan dasar negara, sidang BPUPKI membentuk Panitia Kecil untuk mencapai konsensus antara golongan Islam dan golongan kebangsaan dalam merumuskan rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar. Dalam rancangan dasar negara “Pancasila” yang diusulkan Bung Karno, prinsip Ketuhanan merupakan sila kelima. Ki Bagus Hadikusumo-lah yang dengan gigih berdebat dengan Soekarno sampai di luar sidang hingga Soekarno menangis di hadapan Ki Bagus. Prinsip Ketuhanan akhinya menjadi prinsip pertama yang diterima secara aklamasi dalam sidang BPUPKI. Mr. Muhammad Yamin menyebutnya Piagam Jakarta. Mengutip dari Bung Hatta, Panitia Sembilan mengubah urutan fundamen Pancasila, meletakkan fundamen moral di atas, fundamen politik di bawahnya. Dengan meletakkan dasar moral di atas, negara dan pemerintahan memperoleh dasar yang kokoh.

Kalangan tokoh Islam, salah satunya Ki Bagus Hadikusumo, dengan teguh memegang pendirian bahwa beberapa hal penting yang berhubungan dengan Islam harus dimasukkan ke dalam batang tubuh konstitusi Negara Republik Indonesia. Bahkan Ki Bagus Hadikusumo dapat disebut sebagai penggagas landasan Ketuhanan negara Republik Indonesia.

Pertumbuhan ketatanegaraan kita tidak selalu berjalan linear. Dalam buku Sekitar Proklamasi, Bung Hatta menceritakan peristiwa yang amat penting dalam sejarah bangsa dan negara Indonesia. Sore hari 17 Agustus 1945 beliau menerima tamu seorang opsir Kaigun (Angkatan Laut Jepang). Opsir itu, Bung Hatta lupa namanya, datang sebagai utusan Kaigun yang memberitahukan bahwa wakil-wakil Protestan dan Katolik di daerah yang dikuasai oleh Angkatan Laut Jepang merasa keberatan dengan kalimat pada Pembukaan Undang-Undang Dasar, yaitu “Ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Jika kalimat tersebut ditetapkan, mereka lebih suka berdiri di luar Republik Indonesia.

Bung Hatta tidak menerima begitu saja keberatan demikian, “Saya katakan bahwa itu bukan suatu diskriminasi, sebab penetapan itu hanya mengenai rakyat yang beragama Islam. Waktu merumuskan Pembukaan Undang-Undang Dasar itu, Mr. Maramis yang ikut serta dalam Panitia Sembilan, tidak mempunyai keberatan apa-apa dan pada tanggal 22 Juni ia ikut menanda-tanganinya.”

Pada waktu itu Bung Hatta menjanjikan akan menyampaikan kepada sidang PPKI esok harinya. Pada 18 Agustus 1945 menjelang dimulainya sidang PPKI yang mengagendakan pengesahan Undang-Undang Dasar, Bung Hatta membicarakan soal tersebut dengan tiga orang anggota PPKI yang dianggap “mewakili golongan Islam”, yaitu Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, dan Teuku M. Hasan. Pada sebagian literatur menyebut nama K.H.A. Wahid Hasjim juga hadir. Menurut Prawoto Mangkusasmito dan diperkuat oleh keterangan Ibu Solichah A.Wahid Hasjim tahun 1984, suaminya K.H.A. Wahid Hasjim tidak hadir dalam sidang PPKI di Jakarta tanggal 18 Agustus 1945 itu.

Bung Hatta meminta para tokoh Islam agar menyetujui untuk menghapus tujuh kata dalam rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar dan menggantinya dengan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ki Bagus Hadikusumo, pucuk pimpinan Muhammadiyah, satu-satunya eksponen perjuangan Islam yang paling senior ketika itu pada mulanya berkeberatan. Kasman Singodimedjo dan Teuku M. Hasan membujuk Ki Bagus agar menerima saran Bung Hatta karena keputusan terakhir ada pada Ki Bagus Hadikusumo. Segala tekanan psikologis bertumpu pada Ki Bagus. Kasman menggambarkan betapa marah Ki Bagus atas usulan Bung Hatta yang tiba-tiba mementahkan kompromi yang telah dicapai dengan susah payah dalam sidang BPUPKI. Bujukan Kasman Singodimedjo dengan menggunakan bahasa Jawa halus dapat meluluhkan hati Ki Bagus.

Bung Hatta meminta para tokoh Islam agar menyetujui untuk menghapus tujuh kata dalam rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar dan menggantinya dengan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ki Bagus Hadikusumo, pucuk pimpinan Muhammadiyah, satu-satunya eksponen perjuangan Islam yang paling senior ketika itu pada mulanya berkeberatan. Kasman Singodimedjo dan Teuku M. Hasan membujuk Ki Bagus agar menerima saran Bung Hatta karena keputusan terakhir ada pada Ki Bagus Hadikusumo. Segala tekanan psikologis bertumpu pada Ki Bagus. Kasman menggambarkan betapa marah Ki Bagus atas usulan Bung Hatta yang tiba-tiba mementahkan kompromi yang telah dicapai dengan susah payah dalam sidang BPUPKI. Bujukan Kasman Singodimedjo dengan menggunakan bahasa Jawa halus dapat meluluhkan hati Ki Bagus.

Kesediaan Ki Bagus Hadikusumo menghapus tujuh kata menyangkut syariat Islam menjadi “kunci” pengesahan Pembukaan UUD 1945 dan prinsip-prinsip dasar negara Pancasila. Prawoto Mangkusasmito beberapa tahun kemudian bertanya kepada Ki Bagus Hadikusumo tentang arti istilah “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Jawab Ki Bagus singkat saja, yaitu “Tauhid”.

Ki Bagus Hadikusumo, sebagaimana diungkapkan Djarnawi Hadikusuma, adalah seorang yang sangat prinsipil dalam soal yang berhubungan dengan agama. Dalam salah satu bukunya Ki Bagus menyatakan letaknya kolot atau modern adalah dalam cara berfikir dan bertindak, letaknya taqwa atau munafik adalah pada teguh atau tidaknya memegang hukum yang benar.

Setelah Pemilu yang pertama tahun 1955 dibentuk Majelis Konstituante Republik Indonesia. Menurut UUD Sementara 1950, pasal 134, Konstituante bersama-sama dengan pemerintah selekas-lekasnya menetapkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang akan menggantikan UUD Sementara ini. Di dalam sidang Konstituante, golongan Islam (Masyumi, NU, PSII, Perti dan empat partai kecil lainnya) mengusulkan Islam sebagai dasar negara, golongan Nasionalis, Sosialis, Kristen, Katolik, dan Komunis (PKI) mengusulkan Pancasila, sedangkan golongan Murba, Buruh dan 9 anggota perorangan mengusulkan dasar Sosial Ekonomi.

Dalam sidang Konstituante di Bandung, Kasman Singodimedjo (Fraksi Masyumi) menyampaikan pidato yang menyentuh hati.Ia mengingatkan Konstituante akan janji Bung Karno kepada Ki Bagus di awal kemerdekaan, “Saudara Ketua, saya masih ingat bagaimana ngototnya almarhum Ki Bagus Hadikusumo, Ketua Umum Pusat Muhammadiyah yang pada waktu itu sebagai anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia mempertahankan Agama Islam untuk dimasukkan ke dalam Muqaddimah dan Undang Undang Dasar 1945. Begitu ngotot Saudara Ketua, sehingga Bung Karno dan Bung Hatta pun tidak dapat mengatasinya…. Hanya dengan kepastian dan jaminan bahwa 6 bulan lagi sesudah Agustus 1945 itu akan dibentuk sebuah Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Majelis Pembuat Undang-Undang Dasar Negara guna memasukkan materi Islam itu ke dalam Undang-Undang Dasar yang tetap, maka bersabarlah Ki Bagus Hadikusumo itu untuk menanti!.”

Lebih lanjut Kasman Singodimedjo menyatakan,“Saudara Ketua, kini juru bicara Islam Ki Bagus Hadikusumo itu telah meninggalkan kita untuk selama-lamanya, karena telah pulang ke Rahmatullah. Beliau telah menanti dengan sabarnya, bukan menanti 6 bulan seperti yang telah dijanjikan kepadanya. Beliau menanti, ya menanti sampai dengan wafatnya. Beliau kini tidak dapat lagi ikut serta dalam Dewan Konstituante ini untuk memasukkan materi Islam, ke dalam Undang-Undang Dasar yang kita hadapi sekarang ini. Saudara Ketua, di manakah kami golongan Islam dapat menuntut penunaian ‘janji’ tadi itu? Di mana lagi tempatnya?” (Hidup Itu Berjuang Kasman Singodimedjo 75 Tahun, Jakarta: Bulan Bintang, 1982).

Perkembangan yang terjadi kemudian pada bulan Juni 1959 mayoritas anggota Konstituante, terutama fraksi-fraksi non-Islam menolak untuk menghadiri lagi sidang-sidang Konstituante. Menghadapi situasi krisis konstitusional tersebut Presiden Soekarno pada 5 Juli 1959 mengeluarkan Dekrit Presiden “Kembali Kepada Undang-Undang Dasar 1945”. Konstituante dibubarkan. Dalam Dekrit Presiden, Piagam Jakarta ditempatkan sebagai salah satu butir pertimbangan, yaitu, “Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.”

Umat Islam berdamai dengan sejarah sebagai realitas yang harus diterima, tetapi tidak dapat melupakan sejarah. Kaum Muslimin, kata Mr. Mohamad Roem, “…wajib melaksanakan Hukum Islam, terlepas dari apakah Piagam Jakarta tercantum atau tidak dalam Pembukaan UUD 1945.”

Dalam kaitan ini H. Alamsjah Ratu Perwiranegara semasa menjabat Menteri Agama menegaskan, “Pancasila adalah pengorbanan dan hadiah terbesar umat Islam untuk persatuan dan kemerdekaan Indonesia.” Salah satu pemimpin Islam yang memiliki peran utama terkait dengan pengorbanan umat Islam untuk persatuan dan kemerdekaan ialah Ki Bagus Hadikusumo.

Ki Bagus Hadikusumo hidup dalam keluhuran sebagai pejuang yang ikhlas sampai akhir hayatnya. Menurut cucunya, setiap rapat BPUPKI di Jakarta, Ki Bagus pakai biaya sendiri. Bekal yang dibawa hanya batik, yang dijualnya di jalan untuk keperluan biaya pulang-pergi ke Jakarta. Bangsa Indonesia yang terdiri dari beragam etnik dan agama ini “berhutang” kepada Ki Bagus Hadikusumo. Hutang budi yang tidak dapat dibayar dengan apapun.

Ki Bagus contoh pemimpin yang tidak mau dikultuskan. Semua telah diberikannya untuk umat dan Tanah Air. Salah satu putranya mengatakan kepada penulis beberapa waktu lalu bahkan kuburan Ki Bagus Hadikusumo di TPU Kuncen Wirobrajan Yogyakarta sudah diberikan untuk dipakai orang lain.

Semoga amal ibadah dan perjuangan Ki Bagus Hadikusumo dalam membela agama Allah, menegakkan kebenaran dan keadilan, serta jasa-jasanya kepada bangsa dan negara diterima oleh Allah SWT dan diampuni segala dosanya. (sp/bikemenag)

Oleh : Fuad Nasar, Pemerhati Sejarah

Sumber : Sang Pencerah

0 Response to "Pancasila, Pengorbanan dan Hadiah Terbesar Umat Islam untuk Persatuan dan Kemerdekaan Indonesia"

Posting Komentar

error: Content is protected !!
Close (x)